Jakarta, PERISAIHUKUM.ID – Amerika Serikat dan China, tengah menghadapi ancaman ‘Stagflasi’.
Tanda-tanda stagflasi tersebut terlihat dari momen ketika perekonomian secara bersamaan mengalami aktivitas yang stagnan dan kenaikan inflasi.
Keterbatasan pasokan bahan baku, tenaga kerja, dan krisis energi membuat biaya produksi membengkak. Inflasi tingkat produsen (Producer Price Index/PPI) yang dialami China pun menanjak tajam.
Pada September 2021, Producer Price Index (PPI) China mencapai 10,07% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Dan hal ini adalah rekor tertinggi setidaknya sejak 1996.
Dilansir dari CNBC Indonesia, saat ini tekanan inflasi mulai terasa, output perekonomian malah melambat. Hal itu terlihat dari aktivitas manufaktur yang dicerminkan dengan Purchasing Managers’ Index (PMI).
Biro Statistik Nasional China (NBS) melaporkan PMI manufaktur periode Oktober 2021 adalah 49,02%. Mengalami penurunan dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 49,6%, dan terendah sejak Februari 2020.
Saat ini, PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Di bawah 50 berarti dunia usaha sedang berada di fase kontraksi, tidak ada eksepansi.
Padahal, Manufaktur di China memiliki peranan yang sangat vital bagi perekonomian. Dalam 10 tahun terakhir, rata-rata sektor ini menyumbang 29,06% dalam bentuk Produk Domestik Bruto.
“Sinyal-sinyal ini mengonfirmasi bahwa ekonomi China kemungkinan sudah mengalami stagflasi,” kata Kepala Ekonom Pinpoint Asset Management Zhang Zhiwei, Selasa 02 November 2021.
“Kita dengan jelas dapat melihat.. Stagflasi industri di China karena indeks output yang menguat dan pada saat yang sama terjadi peningkatan yang kuat dalam indeks harga. Jadi, sektor industri jelas berada dalam situasi yang sangat sulit,” kata Kepala Ekonom China di ANZ, Raymound Yeung.
Sementara, Amerika Serikat juga dikabarkan merasakan hal yang sama. Negara yang diketahui memiliki nilai perekonomian tersebesar di dunia itu baru saja melaporkan data Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal III-2021.
Akibatnya, ekonomi di AS mengalami pelambatan yang signifikan. Departemen Perdagangan AS pada Kamis lalu melaporkan Produk Domestik Bruto (PDB) AS hanya sentuh 2% di kuartal III-2021.
Hal itu dikabarkan melambat dari kuartal sebelumnya 6,07%. Bahkan lebih rendah dari hasil survei Reuters yang memprediksi akan tumbuh 2,08%.
“Secara keseluruhan ini adalah kekecewaan yang besar, mengingat konsensus di awal Juli menunjukkan PDB bisa sentuh 7%, dan skenario terburuk kami 3,05%, itu bahkan masih jauh lebih tinggi dari realisasi,” kata Kepala Ekonom di Capital Economic, Paul Ashworht.